Wednesday, June 20, 2012

Ramai




Aku menjauh dari kerumunan itu. Kerumunan yang membuatku muak. Meski aku tidak secara lugas menyatakan kalau aku suka Kak Bagas, seniorku di klub orchestra.

Ya, hari ini hari ke-3 aku di Jogja. Ada kejuaraan orkestra di sini. Setelah dua hari kemarin kami sibuk berkompetisi, sekarang pelatih kami mengijinkan kami refreshing sejenak ke sini, ke Maliboro. Heran aku. Apa sih yang bisa kami dapat dengan refreshing ke sini? Aku sudah hapal setiap titik toko di jejeran jalan Malioboro ini. Di mana warteg, di mana Mirota, di mana restoran A & W. aku benci ramai yang terlalu ramai. Apalagi matahari dengan gagahnya bersinan, ah terlalu gagah malah. Belum lagi copet atau mas-mas iseng yang biasa suka menggoda kami, cewek-cewek kota. Aku meruntuk kesal dalam hati kepada pelatihku. Kenapa tidak ke Parang Tritis saja?

Kembali ke soal Kak Bagas. Jadi begini, aku sudah lama suka dia. Mungkin sejak pertama kami bertemu. Sejak pertama kali aku bergabung di klub itu. Aku suka pembawaannya yang pendiam dan kalem. Gak pecicilan kayak Kak Rino atau Kak Kus. Kak Bagas juga baik. Kebetulan kami sama-sama bermain di alat music flute. Kak Bagas sangat sabar mengajarkan aku yang saat itu sungguh masih buta membaca not balok dan meniup flute. Aku pikir meniup flute itu gak jauh beda dengan cara meniup rekorder. Ternyata aku salah besar. Meniup flute dibutuhkan otot bibir yang cukup kuat untuk menggetarkan bibir. Nah getaran bibir ini yang menghantarkan volume angin untuk membunyikan flute. Untuk hal-hal teknis semacam itu, tentu pengetahuan Kak Bagas berusia di atas aku. Dia 3 tahun lebih tua dari aku. Waktu yang cukup untuk bisa memahami teknik dasar meniup flute. Terlepas dari dia baik dan pintar soal flute dan tetek bengeknya, pokoknya aku suka dia. Titik. Hehehehe.

Kali ini dia sedang dikerumuni oleh junior-junior baru di klub kami. Tentu saja junior yang aku maksud di sini adalah sekumpulan cewek SMP genit dan korban drama Korea. Si ini meminta diantar beli gelang, si itu merengek minta ditemani ke outlet dagadu, ah ruwet deh. Denger suara mereka yang ceriwis saja sudah cukup buat aku muak. Maka, aku pergi sejauh-jauhnya. Karena aku juga gak bisa mengaku begitu saja kalau aku sebenarnya suka sama Kak Bagas. Phew! Gengsi.

Aku sudah berhasil menjauh dari geng ceriwis itu. Aku sekarang di dalam sebuah restoran fastfood dengan logo huruf M. Beuh, jauh-jauh ke Jogja kok ya makan ini lagi ujung-ujungnya. Yah, kata Ibu makan di lesehan itu malah jauh lebih mahal, itu makanya aku makan di sini saja, yang pasti-pasti saja. Gak ditembak harganya.

Saat sedang asyik makan, tiba-tiba aku dapat sms dari Katya, teman pemain biolaku.

Kamu dmn la?aku sama arsi di kfc nih

Aku segera mengetik pesan balasan lalu mengirimkannya.

Di mekdi nih,sendiri. kamu ke sini aja deh mendingan

Begitu isi smsku. Tak lama, Katya membalas lagi.

Kamu aja yang kesini. Aku lagi mata-matain anak2 centil nih, huahahaha. Seru deh

Grrr emang suka asal nih si Katya. Bukannya nemenin aku malah ngerjain aku. Pada akhirnya aku toh beranjak juga gari restoran itu beralih ke restoran junkfood yang lainnya. Setibanya di restoran fastfood yang ternyata sangat ramai itu, aku melihat genk cewek centil itu duduk bersama Kak Bagas dan Kak Rino. Aku semakin muak. Aku langsung menghampiri Katya dan Arsi.

“Penting banget ya kita di sini? Cabut yuk, belanja apa kek gitu” omelku.

Katya danArsi gak peduli. Mereka masih asyik mengunyah makanan mereka. Uh, cekikikan mereka itu ganggu banget deh. Kok Kak Bagas gak marah sih? Eh, emang Kak Bagas orangnya baik sih. Jadi kayaknya gak mungkin dia marah.

Lagi nikmat-nikmatnya memandangi Kak Bagas tiba-tiba Kak Bagas beringsut dari tempat duduknya, menuju pintu resto itu  sambil sibuk dengan hpnya. Aku mengikuti langkahnya dengan mataku. Tak berapa lama, sosoknya muncul lagi dari balik pintu. Tapi kali ini dia membawa seorang perempuan. Cantik kali maaakkk!

Perempuan itu dibawanya ke mejanya lalu dikenalkan ke genk centill dan Kak Rino.

“Ayo kenalan, Ini Rani, calon istri saya” katanya tersenyum.

Meskipun aku duduk agak jauh dari mereka. Aku bisa mendengar cukup jelas apa yang barusan Kak Bagas ucapkan. Tanpa sadar air mataku menitik. Arsi dan Katya mematung melongo memandangku yang kesusahan menahan sesak.

Monday, June 18, 2012

Biru, Jatuh Hati



Juni 2000

Sekarang gue lagi ada di Pantai Pangandaran. Perpisahan dengan teman-teman sekelas di SMA. Gak pernah ngerti ya kenapa harus ada acara perpisahan segala. Padahal beberapa di antara kami jelas bahkan ada yang akan satu kampus lagi nantinya. Eh tapi gue agak seneng sih. Soalnya dengan adanya perpisahan ini mengingatkan gue akan berpisah juga dengan Aria, rival bebuyutan gue dari jaman kelas satu dulu.

Dia itu cowok paling sengak yang pernah gue kenal. Pinter sih. Tapi belagunya itu loh, gak nahan deh. Setiap kali ada tugas, itu anak selalu jadi pengkhianat di antara temen-temen sekelas. Seringnya sih ngaku belom ngerjain, padahal udah terkumpul rapi paling duluan langsung di meja guru. Gila kan? Apa namanya kalo bukan makan temen? Setiap ujian juga dia selalu ngelak diminta contekan. Atas nama pergaulan, dia gak asik banget kan?

Sedangkan gue? Gue beda banget sama dia. Siapa sih anak sekolah ini yang gak kenal sama gue? Tentu saja bukan karena gue artis. Tapi karena gw ramah dan asik. Gak kayak Aria, pelit tapi sombong. Huh. Heran gue masih aja ada orang yang mau temenan sama orang kayak dia. Well, di samping dia yang pelit ilmu begitu sih sikapnya emang baik. Kadang dia suka traktir beberapa anak-anak kelas. Entah karena apa, waktu gue Tanya begitu, dia Cuma jawab “gak perlu ada event khusus kan kalo mau berbuat baik?” issshhh sok bijak banget gak tuh?

Dan itu cowok sekarang ada di hadapan gue. Berdiri sambil membawa sebuah kelapa muda siap minum lengkap dengan sedotannya.

“Biru! Nih buat lo. Ngapain malah ngelamun sendirian di sini? Gak takut sama ratu pantai selatan?” candanya. Yap, dia memanggil gue dengan julukan itu, Biru,  lantaran warna kacamata gue yang gak pernah berubah sejak kelas satu dulu.

“Dari siapa nih kelapanya?” Tanya gue yang sangat tidak penting.

“Udah minum aja lah jangan banyak Tanya. Masih untung gue bawain.”

“Bukan gitu dodol, kali aja kan lo mau ngeracunin gue atau apa. Di sini kan sepi. Pas gue mati, lo bisa aja kan tinggal lempar gue ke laut?” kata gue sewot.

“Hahahahaha dasar gila lo!” Aria Cuma tertawa sambil gelen-geleng kepala. Mungkin dia heran ada orang yang otaknya negative terus kayak gue. Hem, entahlah.

Gue emang tolol sih udah berprasangka buruk sama dia. Padahal gue tau dia gak maksud gitu. Tapi ya gimana, gue udah terlanjur benci sama dia. Jadinya, semua apa yang dia lakukan ke gue tetep aja gue pandang jelek.

***

Juni 2012

Aku masih dijuluki Biru olehnya. Tentu saja bukan Biru yang dulu. Aku sekarang tumbuh menjadi wanita dewasa yang ber-attitude. Aku ga pernah lagi meremehkan orang lain. Semua masalah selalu coba aku lihat dari berbagai sisi. Aku bukan Biru yang manja. Aku bukan Biru yang kekanak-kanakan lagi. Seseorang telah mengajarkan aku untuk hidup lebih baik lagi.Ya, dia Aria. Si baik hati yang dahulu selalu aku benci karena sikapnya yang tengil dan pelit contekan. Menginjak usia matang, aku baru tersadar kalau apa yang dulu ia lakukan padaku itu semata-mata demi kebaikanku.

“Sejak dulu aku mencintaimu, Biru. Aku tidak pernah membencimu dan tidak pernah berharap suatu saat kamu membalas cintaku. Karena aku tau kita pasti akan bersama. Aku meminta pada Tuhan bahwa hanya kau yang ingin aku nikahi kelak. Dan sekarang, Biru, kau tau kan Tuhan sungguh baik pada kita” itu ucapnya saat kami berjalan bergandengan di bibir pantai menikmati bulan madu kita. Aku yang dulu begitu membencinya kini berbalik hati mencintainnya. Sangat mencintainya. Aku si Biru, jatuh hati pada Aria.

Saturday, June 16, 2012

Kerudung Merah




Sebenarnya namanya Aini, namun banyak orang memanggilnya Kerudung Merah. Dibandingkan dengan gadis lainnya di Desa Samosir, Aini tidak bisa dibilang cantik. Wajahnya penuh dengan jerawat dan kasar, bibirnya hitam dan tidak merekah, rambutnya kusam dan kering walaupun berkali-kali dikeramas. Tidak kuat menanggung rasa malu, sehari-hari Aini memakai kerudung merah, satu-satunya kerudung yang ia miliki, untuk menutupi wajahnya yang buruk rupa itu. Itu sebabnya penduduk Desa Samosir banyak yang memanggilnya demikian. Aini tidak pernah keberatan dengan wajahnya yang jelek. Aini tidak pernah protes dan marah pula pada Tuhan. Namun kerap kali orang-orang tega mencemoohnya.

“Aini bau! Rambutnya saja seperti sarang burung. Malu aku punya teman seperti kamu!”

“Kalau kau tidak punya uang, lebih baik tidak usah ikut bermain bersama kami. Kau hanya jadi benalu bagi kami!”

“Wajahmu itu bikin aku mual. Lebih baik kau tutupi saja wajahmu dengan kerudung atau apa! Aku jijik”

Begitulah cercaan dan makian diterimanya. Saat teman-teman dan orang-orang kampong perlahan-lahan menjauh darinya, ia tetap sabar tanpa pernah sekalipun marah atau membalas perbuatan mereka. Paling ia hanya menyepi di pinggir Danau Toba, meluapkan isi hatinya pada Tuhan sambil menangis tersedu-sedu.

Tahun ini, Aini genap berumur 22 tahun. Seharusnya, anak gadis seusia Aini sudah siap untuk dinikahkan. bahkan sejaku usia 18 banyak anak gadis seusia Aini yang sudah menikah. Tapi jangankan calon suami atau kekasih, teman Aini pun bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak pemuda-pemudi desa yang ingin jadi temannya. Maklum, selain buruk rupa, Aini juga bukan orang kaya dan hanya sekolah sampai lulus SD. Tidak ada alas an untuk mereka menjadi temanku. Toh aku tidak punya apa-apa, pikir Aini menyadari kekurangannya.

Suatu hari Aini sedang menulis di pinggir Danau Toba. Angin dengan lembut menyusup melalui sela-sela telinganya. Kerudung merah yang ia pakai bergerak-gerak pelan tertiup angin. Udara kebetulan sedang bersahabat sore itu. Ia menuliskan beberapa kata dalam bukunya, menuangkan tentang mimpi dan keinginannya, menumpahkan kesedihan dan segala keluh kesahnya. Saat sedang serius menulis, ia tak sengaja melihat seorang ibu-ibu tua renta berjalan tergopoh-gopoh membawa setentengan tas belanjaan. Aini spontan menghampirinya.

"Inang, bawa apa kah inang? Mari sini butet bantu"

"Ah, butet, tidak usah, Nak, rumah sudah sudah dekat di ujung danau sana. Inang bisa bawa sendiri. Biasa anak inang bawakan belanjaan ini untuk inang, tapi sekarang dia sedang sakit"

"Tidak apa inang, biar butet bawakan"

Ibu tua itu akhirnya mengijinkan Aini membawakan belanjaannya. Aini berjalan beriringan menuju rumah ibu tua itu yang ternyata terletak agak menjorok ke dalam desa, sedikit jauh dari desa Aini.

"Terima kasih, butet sudah membantu inang. Mari masuk ke rumah inang, inang kenalkan dengan anak inang"

"Tidak inang, butet langsung pulang saja. buku butet tertinggal di pinggir danau tadi"

"Ah, butet, jangan kau suka menolak tawaran baik  inang apalagi inang ini sudah tua , butet, tidak baik kau itu menolak tawaran inang. Duduklah sebentar, inang panggilkan Rajab"

Aini ingin buru-buru pulang sebenarnya bukan karena ia ingin mengambil bukunya yang tertinggal. Bukan. Bukan itu jelas alasan utamanya. Aini hanya malu bertemu dengan Rajab. Biasanya, orang yang akan pertama kali melihatnya akan merasa jijik dan tidak sudi melihatnya lama-lama. Aini membetulkan posisi kerudungnya agar bisa menutupi wajahnya lebih baik lagi.

Tak berapa lama, ibu tua itu dan anaknya keluar.

"Butet, ini Rajab, anak inang satu-satunya. Amang sudah meninggal sejak Rajab masih kecil, jadi Rajab agak pemalu orangnya."

Aini menatap Rajab hati-hati dari balik kerudungnya. Ia takut wajahnya tersibak jelas sehingga Rajab bisa melihat wajahnya yang buruk rupa itu. Rajab tidak terlalu tampan. Biasa aja. Tapi di mata Aini, Rajab tentulah menempati tempat teratas lelaki istimewa dalam hidupnya karena ia belum pernah berada sedekat ini dengan laki-laki selain amangnya sendiri.

Aini tidak berani mengulurkan tangannya. Rajab yang memulainya.

"Aku Rajab. Kenalkan," katanya

Ragu-ragu Aini menyambut uluran tangan Rajab, menjawab pelan "Aku Aini"

"Aini muslim? Kau pakai kerudung. Nama aku pun bahasa timur tengah sana kalau aku tak salah paham"

"Tidak, uda. Aku pakai ini untuk menyembunyikan wajahku"

"Wajah yang mana? Coba kulihat"

Rajab menyibak kerudung merah itu. Dilihatnya wajah Aini yang hancur itu. Kemudian ia tersenyum.

"Aini, kau tidak pernah mencuci muka kau dengan sabun kah? Ah, sebentar" Rajab berjalan ke dapur. Aini tidak menyangka Rajab sama sekali tidak mencemoohnya seperti kebanyakan orang lainnya. Tidak lama Rajab datang membawakan sesuatu seperti sabun untuk Aini. Rajab bilang itu sabun. Aini tidak tahu kalau Rajab seorang dokter muda di desa itu. Rajab memberi Aini sabun untuk mencuci mukanya yang kotor karena sering bermain di luar rumah saat hari terik. Aini tidak pernah mencuci mukanya karena itu mukanya berjerawat dan jerawat itu terus berkembang karena Aini tidak pernah membersihkannya dengan sabun saat mandi pagi atau ingin tidur.

"Jadi ini bukan kutukan, uda?"

"Tentu saja bukan Aini. Itu karena kau malas menjaga kebersihan wajah kau sehingga bakteri mudah bersarang di sana"

"Bakteri? Itu apa, uda?"

Ah, ya. Aini kurang mengenyam bangku sekolah sehingga asing mendengar istilah seperti itu. Singkat cerita, Aini rutin mencuci wajahnya dengan sabun itu, setiap sore ia pun sering main ke rumah Rajab hanya untuk sekedar mengobrol dengan pemuda itu. Aini baru sadar bahwa Rajab memiliki senyum yang manis. Manis sekali. 

Lama-lama, wajah Aini semakin mulus. Ia tidak lagi merasa perlu memakai kerudung merahnya itu. Para pemuda desa dan teman-temannya pun kini pelan-pelan mau menerima keadaannya. Gadis itu telah berubah. Ia kemudian menyimpan kerudung merah itu rapi-rapi di bagian terdalam lemari bajunya.

Thursday, June 14, 2012

Jingga Di Ujung Senja



Sudah aku putuskan aku akan mengatakan isi hatiku kepadanya esok hari. Kepada perempuan yang bayangan senyumnya selalu menari-nari di pikiranku, dan ah ya, aku bisa melihat lesung pipitnya dengan jelas walau senyumnya kadang tidak sepenuh hati.

Gadis itu bernama Diayu. Walaupun is pendatang baru di kota ini, tapi seluruh pemuda di desaku mengenalnya. Tentu saja, ia manis, berlengsung pipit kecil, rambut panjang sebahu dengan warna yang tidak terlalu hitam. Yang aku tahu, dia juga mahasiswa lulusan fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Jakarta. Meski begitu, ia tidak pernah sedikitpun angkuh dan sok. Itu sebabnya pemuda-pemuda di desaku begitu banyak yang mengaguminya. Pun diriku. 

Dan, di sini lah aku sekarang berada. Duduk termangu di atas perahu berukuran sedang yang mengambang di atas Sungai Musi, sambil berpikir mencari rangkaian kata yang akan aku sampaikan padanya esok hari, dengan sesekali menoleh ke Jembatan Ampera yang ada di hadapanku ini berharap aku mendapat ide dengan melihatnya. Seto, sahabatku, menyarankan agar aku membuatkan sebuah puisi saja untuk menyampaikan perasaanku kepada Diayu. Dan setelah sekitar dua jam aku di sini, puisi itu akhirnya jadi. Jujur, aku tidak terlalu pandai berpuisi. Ini kali pertama aku membuat puisi untuk Si Cantik Diayu.


Jingga Di Ujung Senja


Katakan aku mungkin hanya sejumput rumput
Berusaha tumbuh untuk bisa menggapai bunga
Katakan aku mungkin hanya seekor siput
Berusaha mengejar hati milik Nona
Katakan aku mungkin hanya sekelebat kabut
Berusaha jernih seperti angin, namun tak bisa

Maka, aku harap bunga bisa merendah sedikit untuk menyambut pucukku
Maka, aku harap Nona memperlambat langkah untuk menungguku
Maka, aku harap tetap puji aku dalam kurang dan lebihku

Karena kamu bukan merah, karena kamu bukan kuning
Karena kamu adalah jingga, karena kamu berbeda
Yang walaupun hanya sesaat, dan aku selalu menantikannya


Aku tersenyum memandang tulisanku. Puisi pertama yang aku buat sepenuh hati. Ah, peduli setan dengan kata-katanya bagus atau tidak. Seto bilang aku harus menggunakan biksi yang baik atau apa itu aku lupa namanya, supaya puisiku kelak akan lebih puitis. Ah, Seto, kamu kan tahu ini puisi pertamaku dan aku tidak pandai menulis. Jadi aku harap kamu memaklumi hasil karyaku ini. Hehehehe.

Jingga di senja itu menggiring hitam memasuki malam. Lalu aku pulang dengan hati riang.

*** 

Di rumah,

Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku baru selesai memasukkan selembar puisi itu ke dalam amplop merah jambu seperti yang aku sering lihat di drama televisi sehari-hari. Ah, aku tidak sabar menunggu hari esok. Jantungku berdegup 2 kali lebih cepat dari biasanya.
***

Keesokan harinya…

Aku kembali menyepi lagi. Masih di atas perahu dengan situasi Jembatan Ampera si hadapanku. Kali ini aku akan membuat puisi lagi. Atas dasar kemauanku, bukan karena saran Seto.


Hitam (Menggamit Jingga) Di Ujung Senja


Aku tidak akan bertanya kenapa senja begitu gelap hari ini
Seperti aku yang tidak akan bertanya apa itu cinta

Yang aku tahu tentang kelam, ia begitu muram
Yang aku tahu tentang mendung, ia begitu murung

Lalu, kenapa aku tidak bisa tahu tentang engkau, Sahabat?
Apa karena kau bukan kelam dan tidak muram?

Aku izinkan kamu bersanding dengan jingga di senja
Biar kini hatiku yang menghitam


Satu lagi puisi aneh yang aku buat. Genap sudah 2 puisi dan sungguh aku tidak minat membuat puisi lagi. Seharusnya dari awal aku tahu puisi Seto jauh lebih baik dari puisiku. Aku kalah.

Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan



Hari ini adalah hari pernikahanku. Tidak aku sangka aku akhirnya harus menikah dengan duda tanpa anak juragan beras di kampungku. Semua keluargaku tahu aku tidak sedikitpun mencintainya. Tapi semua ini aku lakukan demi melunasi hutang-hutang ayahku kepada duda itu. 

Pagi itu aku menangis sejadi-jadinya. Ditemani adikku yang mencoba menenangkanku.

"Kak... sudah, jangan menangis terus. Nanti luntur cantiknya kakak. Kalau aku perempuan, aku pasti akan sudi menggantikan kakak demi kelangsungan hidu keluarga kita, Kak. sudah ya Kak... berhenti menangis,"

Tapi aku tidak menghiraukan kata-kata adikku itu. Huh, tahu apa dia! Dia tidak akan pernah merasakan apa yang akan aku rasakan nanti jika aku sudah resmi menjadi istri duda itu. Dia kan masih kecil, runtukku dalam hati.

Aku benar-benar tidak habis pikir pada orang tuaku. Tega sekali mereka 'menjual' aku pada duda sialan itu. Aku tahu itu bukan mau mereka, tapi tetap saja, ah... Pagi itu tangisku makin keras. sesenggukan yang akhirnya membuat adikku kewalahan menghadapi aku dan memilih untuk meninggalkan aku dalam kamar pengantin sendiri saja.

Aku menoleh ke jam dinding di atas ranjang berselmutkan seprai merah jambu itu. Tinggal 30 menit lagi menjelang waktu akad nikah. Tuhan, tolong aku, Tuhan.

***

Malam ini aku melewatkan malam pertama dengan duda itu. Persetubuhan yang hambar karena aku tidak mencintainya. Setelahnya, aku langsung tertidur lelap sampai pagi. Tiba-tiba aku mimpi aneh. Di mimpi itu ada sosok duda itu bersama ibu tua entah siapa. Cih, kenapa selalu ada duda itu bahkan dalam mimpiku? Aku sempat-sempatnya kesal saat bermimpi. 

Aku melihat mereka berdua sedang bertengkar hebat.

"Jadi kau ingin menjadikan aku tumbal atas pesugihanmu?! Kau benar-benar gila, Karim!"

Orang yang disebut Karim itu diam saja, ia malah semakin mendekati ibu tua itu. Matanya berkilat-kilat dengan belati siap menghunus.

"Sungguh Karim kau tidak akan pernah memiliki keturunan seumur hidupmu dan semua perempuan yang kau cintai akan aku ajak untuk ikut pergi bersamaku!" teriak ibu tua itu.

Lalu ibu tua itu menjatuhkan diri ke laut dari atas mercusuar. Karim tersenyum kecil.

***

Pagi itu aku bangun dengan napas terengah-engah seperti menghayati mimpi semalam. Aku bingung. Aku harus pergi! Ya! Secepatnya! 

Duda itu masih bergumul di dalam selimut. Ya, ini saat yang tepat untuk aku pergi. Tapi... bagaimana nasib orangtuaku jika aku diketahui sudah melarikan diri? Aku benar-benar bimbang.

Aku berjalan pelan keluar kamar. Tidak ada penjagaan. Rumah duda itu tidak seperti rumah kumpeni. Aku terus berjalan menyusuri tiap jengkal rumah itu. Dang! Aku melihat setumpukan benda berkilauan. Aku dekati benda itu yang ternyata setelah aku pegang itu adalah baju pengantin duda kemarin saat di pelaminan. Aku tersenyum lebar mengetahui ternyata emas-emas itu bisa diambil. Aku mengantungi beberapa. Aku tidak perduli ini emas asli atau bukan. Yang aku tahu aku harus secepatnya kabur dari sini. Dengan bekal emas itu.

Aku kabur secepat aku bisa. Di luar sudah agak terang. Aku terus berlari, lari dan lari sampai mobil itu menabrakku...

Ciiiiiiiitttt. Begitu bunyi gesekan roda dan aspal karena mobil direm. Aku terlalu semangat berlari sampai tidak menyadari aku ditabrak hingga terpental entah seberapa jauhnya. Emas yang aku bawa pun jatuuh berserakan di sekitar tubuhku yang sedang meregang nyawa.

Ah, akhirnya pun aku harus mati. Kasihan duda itu. sampai kapanpun dia tidak akan pernah b\hidup bahagia. setidaknya, kematian aku dengan cara yang seperti ini bisa sedikit membahagiakannya. 

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


Entah ada apa dengan langit siang itu. Matahari yang terik menusuk dan langit yang terlalu terang untuk disebut sebagai cerah. Seorang wanita menebar pandangan ke seluruh penjuru tempat itu. Tempat yang familiar yang dinamakan oleh orang-orang Jam Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat.

"Kita di mana?" tanya wanita itu kepada seorang laki-laki berkemeja putih. Tampan sekali.

"Kita di Bukittinggi. Kamu ingat 'kan?" jawab pria tampan itu.

"Sesungguhnya aku merasa ini kali pertama aku ke sini,"

Laki-laki itu menghela nafas cukup berat. Kecewa pada apa yang baru saja didengarnya. Ia harus menerima kenyataan bahwa perempuan di depannya ini nyata tidak bisa mengingat kenangan antara mereka berdua.

Alih-alih menanggapi, pria itu malah meraih tubuh kecil sosok dihadapannya, memeluk perempuan itu dengan penuh mesra sambil membelai rambut panjangnya dan sesekali mendaratkan kecupan hangat pada keningnya. Perempuan itu menikmatinya... namun tak lama. Kemudian seperti tersadar, ia beringsut melepaskan pelukannya dan menatap pria itu dengan tatapan tegas.

“Kamu bukan suamiku…” lirihnya.

Pria itu hanya tersenyum pelan. Bathinnya menangis. Oh, Tuhan, kenapa, Tuhan??? Kenapa??? Kenapa istriku tidak mengenalku? Apa rencanamu, Tuhan?

"Oh, baiklah... Aku tidak seharusnya ada di sini. Suamiku menunggu di rumah. Ia pasti akan marah besar kalau saat dia pulang kerja nanti aku tidak ada di rumah. Aku harus pulang. Tolong antarkan aku…" perempuan itu memohon. Akan tetapi laki-laki di hadapannya itu tetap di tempatnya.

“Tidak, Sayang. Kita sedang menunggu teman kita. Kamu ingat Dokter Erdi? Tempo hari kita mengunjungi dia. Kamu bilang aku sakit, padahal kamu yang sakit. Kamu ingat ‘kan?”

Perempuan itu tidak menjawab. Dia bingung kenapa pria ini begitu kekeuh menganggap dirinya sebagai istrinya. Pria ini pasti sudah gila. Mungkin dia psikopat atau apa. Jangan-jangan dia akan memanfaatkan keadaanku, lalu setelah berhasil (memaksa) meyakinkan kalau aku adalah istrinya, dia akan membawaku ke suatu tempat tersembunyi kemudian membunuhku. Membayangkan itu, ia hanya bias bergidik ngeri. Mencoba menghapus bayangan tadi, berharap sang dokter cepat datang agar situasi tidak semakin semu.

Drrrttt! Drrrt! Drrrt! Handphone di saku celana kanan depan perempuan itu bergetar. Ada telepon masuk. Galih, begitu nama yang muncul di layarnya.

“Ya, halo” jawab wanita itu sembari menjauh dari pria aneh di depannya. Ia tidak ingin percakapannya di dengar oleh pria itu.

Tidak lama mereka terlibat pembicaraan. Pria itu tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh istrinya. Apakah istrinya berselingkuh? Kalau tidak, untuk apa dia menerima telepon pakai acara menjauh segala darinya, suaminya? Pria itu menyimpan curiga.

Rian Meidiyansyah

Oke, aku tahu aku sekarang sudah bukan Rian yang dulu. Rian yang kaya yang bias memberikan apa saja yang dia mau. Tapi sungguh aku tidak bias tidak mencintainya dan mengikhlaskan dia untuk menikah dengan laki-laki lain yang bias membahagiakannya. Kasto memang keparat! Berani benar dia menipuku dan memfitnah aku menghamili istrinya! Padahal selama ini aku sudah mempekerjakan dia dengan baik tanpa pernah memotong gajinya sekalipun ia berhutang padaku. Bahkan sudah aku sewakan untuknya rumah tinggal sederhana untuk mereka hidup bersama. Iblis benar dia sudah menjebloskan aku ke penjara.

15 menit kemudian, akhirnya dokter itu datang. Dokter yang akan menyembuhkan istriku. Setelah basa-basi sebentar, seperti biasa, aku membiarkan ia berbicara dengan istriku. Membiarkan dokter muda itu berbincang-bincang mengurai kenangan yang (semoga) masih tersisa.

Dokter itu membawa istriku ke tempat yang agak teduh di bagian kanan jam raksasa ini. Sedang aku, cukup melihatnya dari sisi seberang. Dokter bilang, aku tidak boleh mengganggu terapinya.

Galih Erdiyansyah & Rania Kusumadewi

“Hai, Sayang, bagaimana? Apa sikapnya sudah menunjukkan kemajuan?”

“Belum, Lih. Bagaimana ini? Dia masih terus saja menganggap aku sebagai istrinya. Aku capek, Lih. Sampai kapan aku harus berpura-pura menjadi istrinya? Kenapa aku yang harus berkorban demi hubungan kita? Kenapa hanya aku yang berkorban, Lih?” Rania meraung-raung.

“Sabar, Sayang… kamu mengerti ‘kan kalau orang tuaku tidak akan mengizinkan kita menikah sebelum aku jadi dokter. Dia salah satu ujianku. Dia pasienku. Profesor tidak akan meluluskanku kalau aku tidak berhasil menyembuhkannya. Kamu ‘kan tahu penyakit jiwa kakakku akut sejak ditinggal istrinya. Hanya kamu yang bisa menolong aku, Sayang… hanya kamu,” nada bicara Galih begitu mengiba, berharap kekasihnya sudi bersabar demi masa depan mereka.

Perempuan itu tertegun. Kalau bukan karena janin yang ada di rahimnya, ia pasti sudah meninggalkan dokter co-as itu dan mencari laki-laki lain yang lebih mapan.



Wednesday, June 6, 2012

Segitunya?

Jadi gini. Ceritanya saya punya temen. Anggep aja namanya Joko. Saya tahu Joko ada rasa sama saya karena dia pernah bilang dan memang kita sempat dekat untuk jangka waktu yang cukup lama. Sayangnya, saya ga ada rasa apa-apa ke dia. Well, kalaupun ada, ga bisa saya kembangkan karena saya dan dia memang ga pernah cocok untuk menjalin hubungan lebih dari teman. Kita itu doyan berantem. Saya orangnya cuek dan bodo amatan sedangkan dia tuh perfeksionis banget dan rapi. Akhirnya waktu yang membawa kami untuk jadi sekedar temen aja. Oke, sahabatan deh.

Joko sekarang udah punya cewek. Dan yang paling mengagetkan adalah Joko nyuruh ceweknya supaya si cewek ini mencontoh saya. Baik dalam hal berpakaian maupun gaya berpikir. Wetdeh, ternyata Joko masih terobsesi sama saya untuk kedua hal yang saya sebut itu ; gaya berpakaian dan pemikiran saya (saya ga pernah mikir ribet sih). Jadi setiap saya ketemu ceweknya, si cewek itu ngeliyatin saya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terus pas pertemuan selanjutnya, dia udah berpakaian persis seperti yang saya pakai waktu terakhir kali saya ketemu dia. Ini gila.