Monday, June 18, 2012

Biru, Jatuh Hati



Juni 2000

Sekarang gue lagi ada di Pantai Pangandaran. Perpisahan dengan teman-teman sekelas di SMA. Gak pernah ngerti ya kenapa harus ada acara perpisahan segala. Padahal beberapa di antara kami jelas bahkan ada yang akan satu kampus lagi nantinya. Eh tapi gue agak seneng sih. Soalnya dengan adanya perpisahan ini mengingatkan gue akan berpisah juga dengan Aria, rival bebuyutan gue dari jaman kelas satu dulu.

Dia itu cowok paling sengak yang pernah gue kenal. Pinter sih. Tapi belagunya itu loh, gak nahan deh. Setiap kali ada tugas, itu anak selalu jadi pengkhianat di antara temen-temen sekelas. Seringnya sih ngaku belom ngerjain, padahal udah terkumpul rapi paling duluan langsung di meja guru. Gila kan? Apa namanya kalo bukan makan temen? Setiap ujian juga dia selalu ngelak diminta contekan. Atas nama pergaulan, dia gak asik banget kan?

Sedangkan gue? Gue beda banget sama dia. Siapa sih anak sekolah ini yang gak kenal sama gue? Tentu saja bukan karena gue artis. Tapi karena gw ramah dan asik. Gak kayak Aria, pelit tapi sombong. Huh. Heran gue masih aja ada orang yang mau temenan sama orang kayak dia. Well, di samping dia yang pelit ilmu begitu sih sikapnya emang baik. Kadang dia suka traktir beberapa anak-anak kelas. Entah karena apa, waktu gue Tanya begitu, dia Cuma jawab “gak perlu ada event khusus kan kalo mau berbuat baik?” issshhh sok bijak banget gak tuh?

Dan itu cowok sekarang ada di hadapan gue. Berdiri sambil membawa sebuah kelapa muda siap minum lengkap dengan sedotannya.

“Biru! Nih buat lo. Ngapain malah ngelamun sendirian di sini? Gak takut sama ratu pantai selatan?” candanya. Yap, dia memanggil gue dengan julukan itu, Biru,  lantaran warna kacamata gue yang gak pernah berubah sejak kelas satu dulu.

“Dari siapa nih kelapanya?” Tanya gue yang sangat tidak penting.

“Udah minum aja lah jangan banyak Tanya. Masih untung gue bawain.”

“Bukan gitu dodol, kali aja kan lo mau ngeracunin gue atau apa. Di sini kan sepi. Pas gue mati, lo bisa aja kan tinggal lempar gue ke laut?” kata gue sewot.

“Hahahahaha dasar gila lo!” Aria Cuma tertawa sambil gelen-geleng kepala. Mungkin dia heran ada orang yang otaknya negative terus kayak gue. Hem, entahlah.

Gue emang tolol sih udah berprasangka buruk sama dia. Padahal gue tau dia gak maksud gitu. Tapi ya gimana, gue udah terlanjur benci sama dia. Jadinya, semua apa yang dia lakukan ke gue tetep aja gue pandang jelek.

***

Juni 2012

Aku masih dijuluki Biru olehnya. Tentu saja bukan Biru yang dulu. Aku sekarang tumbuh menjadi wanita dewasa yang ber-attitude. Aku ga pernah lagi meremehkan orang lain. Semua masalah selalu coba aku lihat dari berbagai sisi. Aku bukan Biru yang manja. Aku bukan Biru yang kekanak-kanakan lagi. Seseorang telah mengajarkan aku untuk hidup lebih baik lagi.Ya, dia Aria. Si baik hati yang dahulu selalu aku benci karena sikapnya yang tengil dan pelit contekan. Menginjak usia matang, aku baru tersadar kalau apa yang dulu ia lakukan padaku itu semata-mata demi kebaikanku.

“Sejak dulu aku mencintaimu, Biru. Aku tidak pernah membencimu dan tidak pernah berharap suatu saat kamu membalas cintaku. Karena aku tau kita pasti akan bersama. Aku meminta pada Tuhan bahwa hanya kau yang ingin aku nikahi kelak. Dan sekarang, Biru, kau tau kan Tuhan sungguh baik pada kita” itu ucapnya saat kami berjalan bergandengan di bibir pantai menikmati bulan madu kita. Aku yang dulu begitu membencinya kini berbalik hati mencintainnya. Sangat mencintainya. Aku si Biru, jatuh hati pada Aria.