Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


Entah ada apa dengan langit siang itu. Matahari yang terik menusuk dan langit yang terlalu terang untuk disebut sebagai cerah. Seorang wanita menebar pandangan ke seluruh penjuru tempat itu. Tempat yang familiar yang dinamakan oleh orang-orang Jam Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat.

"Kita di mana?" tanya wanita itu kepada seorang laki-laki berkemeja putih. Tampan sekali.

"Kita di Bukittinggi. Kamu ingat 'kan?" jawab pria tampan itu.

"Sesungguhnya aku merasa ini kali pertama aku ke sini,"

Laki-laki itu menghela nafas cukup berat. Kecewa pada apa yang baru saja didengarnya. Ia harus menerima kenyataan bahwa perempuan di depannya ini nyata tidak bisa mengingat kenangan antara mereka berdua.

Alih-alih menanggapi, pria itu malah meraih tubuh kecil sosok dihadapannya, memeluk perempuan itu dengan penuh mesra sambil membelai rambut panjangnya dan sesekali mendaratkan kecupan hangat pada keningnya. Perempuan itu menikmatinya... namun tak lama. Kemudian seperti tersadar, ia beringsut melepaskan pelukannya dan menatap pria itu dengan tatapan tegas.

“Kamu bukan suamiku…” lirihnya.

Pria itu hanya tersenyum pelan. Bathinnya menangis. Oh, Tuhan, kenapa, Tuhan??? Kenapa??? Kenapa istriku tidak mengenalku? Apa rencanamu, Tuhan?

"Oh, baiklah... Aku tidak seharusnya ada di sini. Suamiku menunggu di rumah. Ia pasti akan marah besar kalau saat dia pulang kerja nanti aku tidak ada di rumah. Aku harus pulang. Tolong antarkan aku…" perempuan itu memohon. Akan tetapi laki-laki di hadapannya itu tetap di tempatnya.

“Tidak, Sayang. Kita sedang menunggu teman kita. Kamu ingat Dokter Erdi? Tempo hari kita mengunjungi dia. Kamu bilang aku sakit, padahal kamu yang sakit. Kamu ingat ‘kan?”

Perempuan itu tidak menjawab. Dia bingung kenapa pria ini begitu kekeuh menganggap dirinya sebagai istrinya. Pria ini pasti sudah gila. Mungkin dia psikopat atau apa. Jangan-jangan dia akan memanfaatkan keadaanku, lalu setelah berhasil (memaksa) meyakinkan kalau aku adalah istrinya, dia akan membawaku ke suatu tempat tersembunyi kemudian membunuhku. Membayangkan itu, ia hanya bias bergidik ngeri. Mencoba menghapus bayangan tadi, berharap sang dokter cepat datang agar situasi tidak semakin semu.

Drrrttt! Drrrt! Drrrt! Handphone di saku celana kanan depan perempuan itu bergetar. Ada telepon masuk. Galih, begitu nama yang muncul di layarnya.

“Ya, halo” jawab wanita itu sembari menjauh dari pria aneh di depannya. Ia tidak ingin percakapannya di dengar oleh pria itu.

Tidak lama mereka terlibat pembicaraan. Pria itu tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh istrinya. Apakah istrinya berselingkuh? Kalau tidak, untuk apa dia menerima telepon pakai acara menjauh segala darinya, suaminya? Pria itu menyimpan curiga.

Rian Meidiyansyah

Oke, aku tahu aku sekarang sudah bukan Rian yang dulu. Rian yang kaya yang bias memberikan apa saja yang dia mau. Tapi sungguh aku tidak bias tidak mencintainya dan mengikhlaskan dia untuk menikah dengan laki-laki lain yang bias membahagiakannya. Kasto memang keparat! Berani benar dia menipuku dan memfitnah aku menghamili istrinya! Padahal selama ini aku sudah mempekerjakan dia dengan baik tanpa pernah memotong gajinya sekalipun ia berhutang padaku. Bahkan sudah aku sewakan untuknya rumah tinggal sederhana untuk mereka hidup bersama. Iblis benar dia sudah menjebloskan aku ke penjara.

15 menit kemudian, akhirnya dokter itu datang. Dokter yang akan menyembuhkan istriku. Setelah basa-basi sebentar, seperti biasa, aku membiarkan ia berbicara dengan istriku. Membiarkan dokter muda itu berbincang-bincang mengurai kenangan yang (semoga) masih tersisa.

Dokter itu membawa istriku ke tempat yang agak teduh di bagian kanan jam raksasa ini. Sedang aku, cukup melihatnya dari sisi seberang. Dokter bilang, aku tidak boleh mengganggu terapinya.

Galih Erdiyansyah & Rania Kusumadewi

“Hai, Sayang, bagaimana? Apa sikapnya sudah menunjukkan kemajuan?”

“Belum, Lih. Bagaimana ini? Dia masih terus saja menganggap aku sebagai istrinya. Aku capek, Lih. Sampai kapan aku harus berpura-pura menjadi istrinya? Kenapa aku yang harus berkorban demi hubungan kita? Kenapa hanya aku yang berkorban, Lih?” Rania meraung-raung.

“Sabar, Sayang… kamu mengerti ‘kan kalau orang tuaku tidak akan mengizinkan kita menikah sebelum aku jadi dokter. Dia salah satu ujianku. Dia pasienku. Profesor tidak akan meluluskanku kalau aku tidak berhasil menyembuhkannya. Kamu ‘kan tahu penyakit jiwa kakakku akut sejak ditinggal istrinya. Hanya kamu yang bisa menolong aku, Sayang… hanya kamu,” nada bicara Galih begitu mengiba, berharap kekasihnya sudi bersabar demi masa depan mereka.

Perempuan itu tertegun. Kalau bukan karena janin yang ada di rahimnya, ia pasti sudah meninggalkan dokter co-as itu dan mencari laki-laki lain yang lebih mapan.



No comments: