“Aku sayang Ibu”
Well, hanya 3 kata sih, tapi entah kenapa susah banget buat
diucapin langsung ke orang yang bersangkutan. Padahal ngucapin 3 kata itu nggak
sesulit perjuangan Ibu buat mbesarin aku.
Terlepas dari semua kekurangan Ibu
sebagai seorang ibu, boleh aku bilang Ibuku is the best mom in this world. Hmmm,
okay, mungkin setiap anak yang sayang ibunya akan bilang hal serupa. Sah-sah
aja sih. Hehe. Pokonya, buat aku, Ibu itu sosok yang “mau repot banget”.
Pagi-pagi Ibu udah sibuk masak buat
bekal aku ke kantor. Ngerapihin kamar anak-anaknya. Mbkinin susu buat adikku
yang masih kecil. Mungkin ada ibu-ibu di luar sana melakukan hal-hal yang lebih
dari Ibuku, sekali lagi, itu sah-sah aja. Aku kan hanya bercerita soal Ibuku. Jadi
aku nggak mau membandingkan dengan ibu-ibu manapun. Meskipun pernah, jujur, aku
membandingkan Ibu hanya dalam hati, nggak aku ceplosin. Wah, bisa sakit hati
bukan kepalang Ibu kalau denger aku ngomong nyinyir begitu. Padahal, Ibu kadang
suka lho membandingkan aku dengan anak perempuan tetangga yang gayanya lebih feminine.
Kalau sudah begitu, palingan aku hanya diam mendengar nasihat Ibu. Aku tahu
maksud Ibu baik. Pengen supaya aku mencontoh yang baik-baik dari teman-temanku.
Walau kadang aku kesal juga dibanding-bandingkan seperti itu. Setiap orang kan
punya karakter masing-masing. Ya kan?
Aku anak pertama dari 3 bersaudara.
Begitu juga Ibu. Adik perempuanku sekarang kelas 3 SMK, sedangkan adik
laki-lakiku berumur 7 tahun dan belum
mau sekolah (hal ini sering bikin Ibu nangis sesenggukan karena saking capeknya
mengurus adikku yang satu ini). Dari kecil aku semua permintaanku selalu
diturutin sama Ibu. Sampai sekarang pun, kalau aku minta sesuatu, selalu Ibu
belikan. Ibu tahu aku suka kangkung, maka Ibu hari itu masak kangkung. Ibu tahu
aku butuh laptop demi kuliahku, maka hari itu juga aku dibelikan laptop. Ibu
tahu aku butuh handphone baru, maka hari itu Ibu langsung membelikanku
handphone baru. Itulah Ibu. Walaupun ak sudah punya 2 orang adik, rasa
sayangnya nggak pernah berkurang atau terbagi. Semua rasa sayang Ibu sama rata
buat semua anaknya. Jadi inget waktu itu ngerjain tugas konstruksi baja. Aku gambar
jembatan sampai jam 4 pagi. Dan Ibu yang menemani.
Aku dididik untuk jadi perempuan
yang berani dan mandiri. Aku tidak seperti adik perempuanku yang kalau pulang
malam pasti sibuk ditelponin, dimarahin, diceramahin macem-macem. Ibu selalu memberi kebebasan buat aku karena Ibu percaya
sama aku. Waktu SMA, Ibu pernah dipanggil ke sekolah lantaran aku terlalu cinta
marching band daripada mata pelajaran sekolah. Anehnya, Ibu nggak marah tuh. Asalkan
nilai-nilaiku di sekolah tetap stabil. Dan Alhamdulillah, ya, nilai-nilaiku
baik-baik saja meskipun aku sibuk marching band.
Ah, ternyata kalau cerita tentang
Ibu, bisa panjang begini ya. Hahahaha. Memang sih cerita tentang Ibu nggak akan
habis ditulis dalam sejuta halaman pun. Oh iya, pernah lho waktu SMP aku dapet
beasiswa tapi Ibu nggak tahu. Uang beasiswa itu aku pakai buat keperluan
pribadiku. Uang beasiswa itu jutaan jumlahnya, setara dengan iuranku selama 8
bulan. Saat itu, Ibu nangis karena aku. Ibu tanya “Uangnya kamu kemanain? Kamu tahu
nggak kalau dengan uang segitu kita bisa pakai buat kebutuhan sehari-hari kita?
Kamu nggak pakai narkoba kan?” kata Ibu sambil meraung-raung. Lalu, nggak lama
Bapak pulang kerja. Aku semakin dimarahi Bapak. Yah, tapi itu memang salahku
juga sih. Hehehehe. Sejak saat itu kepercayaan Ibu ke aku mulai berkurang. Sampai
akhirnya aku SMA, nggak lama kepercayaan itu ternyata sudah terwujud lagi. Ibu nggak
pernah marah kalau aku pulang malam karena marching (dan tentunya aku
benar-benar marching band, bukan gegaulan nggak jelas).
5 bulan terakhir Ibu sakit parah. Hampir
sebulan Ibu dirawat di rumah sakit dan hampir setiap hari juga aku menjaga Ibu
di sana bergantian sama Bapak. Vonis yang diucapkan dokter bikin Ibu stress. Katanya,
Ibu harus cuci darah. Kondisi Ibu yang harusnya sudah boleh pulang hari itu,
mendadak jadi parah lagi. Ya, Ibu memang seperti terkena psikosomatisme. Semua yang
dirasakan tergantung apa yang dipikirkan. Dan Ibu itu orangnya memang pemikir. Singkatnya,
selama beberapa bulan terakhir Ibu tinggal di Magelang untuk berobat alternative
Karena sakitnya nggak kunjung sembuh. Aku, adikku, dan Bapak stay di Jakarta.
Alhamdulillah sekarang kondisi Ibu
sudah membaik. Sudah bisa mengurus kami dengan baik walaupun belum bisa kerja
berat. Kerjaan yang berat-berat dikerjakan oleh asisten rumah tangga kami. Hehehehe.
Tugas Ibu hanya memasak sekarang. Dan minum obat.
Satu hal yang membuat aku makin sayang
sama Ibu. Ibu bukan orang yang pemaksa dan penuntut. Ibu nggak pernah minta aku
harus rangking 1, harus masuk IPA, harus jadi dokter, bla bla bla. Ibu benar-benar
demokrasi. Aku bersyukur punya ibu seperti Ibu. Dan, nyaman banget cerita sama
Ibu. Aku lebih nyaman cerita sama Ibu daripada sama sahabatku sendiri. Hehe. Mungkin
nggak banyak ya anak perempuan yang suka cerita sama ibunya seperti aku cerita
ke Ibu. Tapi, Ibu itu tipe perempuan cuek. Contohnya :
“Bu, aku punya pacar sekarang.
Nggakpapa kan?”
“…” diam agak lama, baru kemudian
bersuara “Ya nggakpapa, asalkan kamu tetap hati-hati”
Aku nunggu respon Ibu yang lain. Ternyata
komentarnya cuma gitu doang! Ya ampuuun aku pikir Ibu bakal komentar hal-hal
yang lebih hot atau apa gitu. Pernah juga aku curhat ngeluh soal marching band.
Ibu jawab “Kan itu pilihan kamu. Ya kamu rasain sendiri apa akibatnya. Ibu hanya
mendukung”. Setiap aku sakit, Ibu nggak memanjakan aku. Sama sekali nggak pernah. Yang ada malah kata-kata : "Sukurin, rasain sendiri kan kalau sakit gimana. Makan es aja terus yang banyak. Jajan sembarangan. Sekarang siapa yang ngerasain sakit? Kamu sendiri kan?"
Ibu memang begitu. Galak. Makanya kalau sakit atau kenapa-kenapa aku lebih memilih untuk diam dan menyelesaikannya sendiri. Kalau ngeluh sama Ibu itu percuma. Bukannya bersimpati, yang ada malah dimarahi. Pernah aku jatuh dari motor. Jok motorku sobek dan spionnya pecah. Aku takut pulang ke rumah. Ibu pasti marah. Dengan segenap ide, aku cari tukang jok. Aku ganti jok dengan yang baru. Aku pun beli spion. Kenapa? Karena kalau tahu aku gegabah mengendarai motor sampai jatuh begitu, Ibu pasti tidak akan mengijinkan aku naik motor lagi. Ibu terlalu khawatir sama aku (sebenernya). Terakhir kali aku denger Ibu nangis itu waktu aku terbujur tak berdaya di atas kasur ruang operasi di suatu rumah sakit dengan tubuh dan kepala bersimbah darah. Di situ aku sadar, Ibu benar-benar sayang aku. Benar-benar aku merasakan kasih sayang seorang Ibu.
Itulah Ibuku. Dengan segala
keajaibannya. Hahaha. Siapapun dan bagaimanapun Ibu, aku tetep sayang sama Ibu.
Dan aku pun berharap aku bisa jadi ibu yang baik buat anak-anakku kelak. Amiin…
Sebenernya masih banyak hal-hal tentang aku dan Ibu yang pengen aku bagi di sini. Next time ya!