Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan



Hari ini adalah hari pernikahanku. Tidak aku sangka aku akhirnya harus menikah dengan duda tanpa anak juragan beras di kampungku. Semua keluargaku tahu aku tidak sedikitpun mencintainya. Tapi semua ini aku lakukan demi melunasi hutang-hutang ayahku kepada duda itu. 

Pagi itu aku menangis sejadi-jadinya. Ditemani adikku yang mencoba menenangkanku.

"Kak... sudah, jangan menangis terus. Nanti luntur cantiknya kakak. Kalau aku perempuan, aku pasti akan sudi menggantikan kakak demi kelangsungan hidu keluarga kita, Kak. sudah ya Kak... berhenti menangis,"

Tapi aku tidak menghiraukan kata-kata adikku itu. Huh, tahu apa dia! Dia tidak akan pernah merasakan apa yang akan aku rasakan nanti jika aku sudah resmi menjadi istri duda itu. Dia kan masih kecil, runtukku dalam hati.

Aku benar-benar tidak habis pikir pada orang tuaku. Tega sekali mereka 'menjual' aku pada duda sialan itu. Aku tahu itu bukan mau mereka, tapi tetap saja, ah... Pagi itu tangisku makin keras. sesenggukan yang akhirnya membuat adikku kewalahan menghadapi aku dan memilih untuk meninggalkan aku dalam kamar pengantin sendiri saja.

Aku menoleh ke jam dinding di atas ranjang berselmutkan seprai merah jambu itu. Tinggal 30 menit lagi menjelang waktu akad nikah. Tuhan, tolong aku, Tuhan.

***

Malam ini aku melewatkan malam pertama dengan duda itu. Persetubuhan yang hambar karena aku tidak mencintainya. Setelahnya, aku langsung tertidur lelap sampai pagi. Tiba-tiba aku mimpi aneh. Di mimpi itu ada sosok duda itu bersama ibu tua entah siapa. Cih, kenapa selalu ada duda itu bahkan dalam mimpiku? Aku sempat-sempatnya kesal saat bermimpi. 

Aku melihat mereka berdua sedang bertengkar hebat.

"Jadi kau ingin menjadikan aku tumbal atas pesugihanmu?! Kau benar-benar gila, Karim!"

Orang yang disebut Karim itu diam saja, ia malah semakin mendekati ibu tua itu. Matanya berkilat-kilat dengan belati siap menghunus.

"Sungguh Karim kau tidak akan pernah memiliki keturunan seumur hidupmu dan semua perempuan yang kau cintai akan aku ajak untuk ikut pergi bersamaku!" teriak ibu tua itu.

Lalu ibu tua itu menjatuhkan diri ke laut dari atas mercusuar. Karim tersenyum kecil.

***

Pagi itu aku bangun dengan napas terengah-engah seperti menghayati mimpi semalam. Aku bingung. Aku harus pergi! Ya! Secepatnya! 

Duda itu masih bergumul di dalam selimut. Ya, ini saat yang tepat untuk aku pergi. Tapi... bagaimana nasib orangtuaku jika aku diketahui sudah melarikan diri? Aku benar-benar bimbang.

Aku berjalan pelan keluar kamar. Tidak ada penjagaan. Rumah duda itu tidak seperti rumah kumpeni. Aku terus berjalan menyusuri tiap jengkal rumah itu. Dang! Aku melihat setumpukan benda berkilauan. Aku dekati benda itu yang ternyata setelah aku pegang itu adalah baju pengantin duda kemarin saat di pelaminan. Aku tersenyum lebar mengetahui ternyata emas-emas itu bisa diambil. Aku mengantungi beberapa. Aku tidak perduli ini emas asli atau bukan. Yang aku tahu aku harus secepatnya kabur dari sini. Dengan bekal emas itu.

Aku kabur secepat aku bisa. Di luar sudah agak terang. Aku terus berlari, lari dan lari sampai mobil itu menabrakku...

Ciiiiiiiitttt. Begitu bunyi gesekan roda dan aspal karena mobil direm. Aku terlalu semangat berlari sampai tidak menyadari aku ditabrak hingga terpental entah seberapa jauhnya. Emas yang aku bawa pun jatuuh berserakan di sekitar tubuhku yang sedang meregang nyawa.

Ah, akhirnya pun aku harus mati. Kasihan duda itu. sampai kapanpun dia tidak akan pernah b\hidup bahagia. setidaknya, kematian aku dengan cara yang seperti ini bisa sedikit membahagiakannya. 

2 comments:

alluna said...

pulau lengkuas nya itu setting pas karim ngebunuh ibunya ya vi?

selebvi said...

iya mbak hehe
maaf kalau ga nyambung huhuhu