Saturday, June 16, 2012

Kerudung Merah




Sebenarnya namanya Aini, namun banyak orang memanggilnya Kerudung Merah. Dibandingkan dengan gadis lainnya di Desa Samosir, Aini tidak bisa dibilang cantik. Wajahnya penuh dengan jerawat dan kasar, bibirnya hitam dan tidak merekah, rambutnya kusam dan kering walaupun berkali-kali dikeramas. Tidak kuat menanggung rasa malu, sehari-hari Aini memakai kerudung merah, satu-satunya kerudung yang ia miliki, untuk menutupi wajahnya yang buruk rupa itu. Itu sebabnya penduduk Desa Samosir banyak yang memanggilnya demikian. Aini tidak pernah keberatan dengan wajahnya yang jelek. Aini tidak pernah protes dan marah pula pada Tuhan. Namun kerap kali orang-orang tega mencemoohnya.

“Aini bau! Rambutnya saja seperti sarang burung. Malu aku punya teman seperti kamu!”

“Kalau kau tidak punya uang, lebih baik tidak usah ikut bermain bersama kami. Kau hanya jadi benalu bagi kami!”

“Wajahmu itu bikin aku mual. Lebih baik kau tutupi saja wajahmu dengan kerudung atau apa! Aku jijik”

Begitulah cercaan dan makian diterimanya. Saat teman-teman dan orang-orang kampong perlahan-lahan menjauh darinya, ia tetap sabar tanpa pernah sekalipun marah atau membalas perbuatan mereka. Paling ia hanya menyepi di pinggir Danau Toba, meluapkan isi hatinya pada Tuhan sambil menangis tersedu-sedu.

Tahun ini, Aini genap berumur 22 tahun. Seharusnya, anak gadis seusia Aini sudah siap untuk dinikahkan. bahkan sejaku usia 18 banyak anak gadis seusia Aini yang sudah menikah. Tapi jangankan calon suami atau kekasih, teman Aini pun bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak pemuda-pemudi desa yang ingin jadi temannya. Maklum, selain buruk rupa, Aini juga bukan orang kaya dan hanya sekolah sampai lulus SD. Tidak ada alas an untuk mereka menjadi temanku. Toh aku tidak punya apa-apa, pikir Aini menyadari kekurangannya.

Suatu hari Aini sedang menulis di pinggir Danau Toba. Angin dengan lembut menyusup melalui sela-sela telinganya. Kerudung merah yang ia pakai bergerak-gerak pelan tertiup angin. Udara kebetulan sedang bersahabat sore itu. Ia menuliskan beberapa kata dalam bukunya, menuangkan tentang mimpi dan keinginannya, menumpahkan kesedihan dan segala keluh kesahnya. Saat sedang serius menulis, ia tak sengaja melihat seorang ibu-ibu tua renta berjalan tergopoh-gopoh membawa setentengan tas belanjaan. Aini spontan menghampirinya.

"Inang, bawa apa kah inang? Mari sini butet bantu"

"Ah, butet, tidak usah, Nak, rumah sudah sudah dekat di ujung danau sana. Inang bisa bawa sendiri. Biasa anak inang bawakan belanjaan ini untuk inang, tapi sekarang dia sedang sakit"

"Tidak apa inang, biar butet bawakan"

Ibu tua itu akhirnya mengijinkan Aini membawakan belanjaannya. Aini berjalan beriringan menuju rumah ibu tua itu yang ternyata terletak agak menjorok ke dalam desa, sedikit jauh dari desa Aini.

"Terima kasih, butet sudah membantu inang. Mari masuk ke rumah inang, inang kenalkan dengan anak inang"

"Tidak inang, butet langsung pulang saja. buku butet tertinggal di pinggir danau tadi"

"Ah, butet, jangan kau suka menolak tawaran baik  inang apalagi inang ini sudah tua , butet, tidak baik kau itu menolak tawaran inang. Duduklah sebentar, inang panggilkan Rajab"

Aini ingin buru-buru pulang sebenarnya bukan karena ia ingin mengambil bukunya yang tertinggal. Bukan. Bukan itu jelas alasan utamanya. Aini hanya malu bertemu dengan Rajab. Biasanya, orang yang akan pertama kali melihatnya akan merasa jijik dan tidak sudi melihatnya lama-lama. Aini membetulkan posisi kerudungnya agar bisa menutupi wajahnya lebih baik lagi.

Tak berapa lama, ibu tua itu dan anaknya keluar.

"Butet, ini Rajab, anak inang satu-satunya. Amang sudah meninggal sejak Rajab masih kecil, jadi Rajab agak pemalu orangnya."

Aini menatap Rajab hati-hati dari balik kerudungnya. Ia takut wajahnya tersibak jelas sehingga Rajab bisa melihat wajahnya yang buruk rupa itu. Rajab tidak terlalu tampan. Biasa aja. Tapi di mata Aini, Rajab tentulah menempati tempat teratas lelaki istimewa dalam hidupnya karena ia belum pernah berada sedekat ini dengan laki-laki selain amangnya sendiri.

Aini tidak berani mengulurkan tangannya. Rajab yang memulainya.

"Aku Rajab. Kenalkan," katanya

Ragu-ragu Aini menyambut uluran tangan Rajab, menjawab pelan "Aku Aini"

"Aini muslim? Kau pakai kerudung. Nama aku pun bahasa timur tengah sana kalau aku tak salah paham"

"Tidak, uda. Aku pakai ini untuk menyembunyikan wajahku"

"Wajah yang mana? Coba kulihat"

Rajab menyibak kerudung merah itu. Dilihatnya wajah Aini yang hancur itu. Kemudian ia tersenyum.

"Aini, kau tidak pernah mencuci muka kau dengan sabun kah? Ah, sebentar" Rajab berjalan ke dapur. Aini tidak menyangka Rajab sama sekali tidak mencemoohnya seperti kebanyakan orang lainnya. Tidak lama Rajab datang membawakan sesuatu seperti sabun untuk Aini. Rajab bilang itu sabun. Aini tidak tahu kalau Rajab seorang dokter muda di desa itu. Rajab memberi Aini sabun untuk mencuci mukanya yang kotor karena sering bermain di luar rumah saat hari terik. Aini tidak pernah mencuci mukanya karena itu mukanya berjerawat dan jerawat itu terus berkembang karena Aini tidak pernah membersihkannya dengan sabun saat mandi pagi atau ingin tidur.

"Jadi ini bukan kutukan, uda?"

"Tentu saja bukan Aini. Itu karena kau malas menjaga kebersihan wajah kau sehingga bakteri mudah bersarang di sana"

"Bakteri? Itu apa, uda?"

Ah, ya. Aini kurang mengenyam bangku sekolah sehingga asing mendengar istilah seperti itu. Singkat cerita, Aini rutin mencuci wajahnya dengan sabun itu, setiap sore ia pun sering main ke rumah Rajab hanya untuk sekedar mengobrol dengan pemuda itu. Aini baru sadar bahwa Rajab memiliki senyum yang manis. Manis sekali. 

Lama-lama, wajah Aini semakin mulus. Ia tidak lagi merasa perlu memakai kerudung merahnya itu. Para pemuda desa dan teman-temannya pun kini pelan-pelan mau menerima keadaannya. Gadis itu telah berubah. Ia kemudian menyimpan kerudung merah itu rapi-rapi di bagian terdalam lemari bajunya.

4 comments:

Razqa Milza Danendra said...

malah jadi buka kerudung -__-

selebvi said...

haha kan kerudungnya ceritanya buat nutupin mukanya doang
bukan buat hijab

Razqa Milza Danendra said...

Rajab -____-

tadinya gw juga pake nama Rajab, wkwkwkwkwkw

selebvi said...

ah seriusan pooh? hahaha
kenapa gituh ya ada apa dgn nama rajab? hahaha